Sunday, 1 December 2013

Andalusia Trip (Part 1 : Granada)

Jauh sebelum saya akhirnya membaca novel 99 Cahaya Islam di Langit Eropa karangan Hanum Salsabiela Rais, suami dan saya sudah berencana ke Andalusia. Dan tujuan kami adalah Cordoba, Granada dan Sevilla. Sayangnya kota-kota besar ini tidak bisa diakses langsung dengan pesawat. Salah satu kemungkinannya adalah lewat Malaga atau Barcelona dan Madrid.

Pintu masuk kami dari Berlin adalah Malaga. Kota di pinggir selat Gibraltar yang terkenal dengan Alcazaba, istana dan benteng pertahanan peninggalam suku Moor yang menjadi salah satu pusat daya tarik wisata. Perjalanan ke Granada ditempuh dengan bis ALSA. Tiket seharga 15 E/org dengan perjalanan 2,5 jam dalam bis ber AC, ber-reclining seat, dan ber-wifi. Sengaja kami tidak reservasi untuk bis antar kota, setelah membaca review di Tripadvisor bahwa orang Spanyol tidak biasa reservasi. Sarannya hanya, alokasikan waktu minimal  1 jam sebelum jam keberangkatan, maka ditanggung akan dapat bis seperti yang diharapkan.


Tujuan utama di Granada adalah Al Hambra. Al Hambra atau Istana Merah,yaitu kompleks kesultanan Nashrid, yang terdiri dari tembok pertahanan (Alcazaba), kompleks istana (Palacios Nazaries), taman firdaus (the Generalife) dan kompleks pemerintahan (the Medina). Al Hambra adalah tujuan wisata utama turis ke Spanyol, sehingga sangat disarankan untuk booking jauh-jauh hari sebelumnya. Kami booking sekitar 2 minggu sebelum keberangkatan saja, sudah tidak mendapat sesi pagi. Bahkan pada saat kami cek, untuk 2-3 bulan sesudah hari kami datang ke Granada, semua tiket di sesi pagi sudah terjual habis. Akhirnya kami dapat giliran masuk di sesi sore (jam 14-20) dan waktu kunjungan ke Nashrid Palace adalah jam 19. Kami diwanti-wanti oleh ticketmaster (tempat booking tiket masuk ke Al Hambra) bahwa kami boleh bebas masuk ke Al Hambra kapan saja, diantara jam 14-20 tersebut. Dengan arti lain, kalau sudah masuk ke kompleks Al Hambra, kita bisa keluar kapan pun. Al Hambra pada umumnya buka hanya sampai jam 20.00 saja, namun saat kami keluar dari kompleks Al Hambra jam 21.00 saja, masih banyak saja turis yang menikmati keindahan Alhambra. Sementara untuk masuk ke Nashrid Palace, waktunya sangat ketat. Bahkan kalau kami sampai di pintu gerbang sebelum jam 19.00 pun kami tidak diperbolehkan masuk.

Alhambra sangat menakjubkan, sebuah kompleks bangunan yang desainnya sangat terpadu. Untuk urusan kontrol terhadap wilayah kekuasaannya, Alhambra benar-benar sangat strategis. Kami kagum, bagaimana pada abad 13 dan 14, sudah dibangun sedemikian hebatnya sistem ini. Al Hambra terletak di atas bukit; pemandangan Al Hambra bisa dilihat dari Bukit salju abadi (dan sebaliknya). Dari depan Al Hambra, juga terlihat dengan jelas Albayzin (kompleks perkampungan muslim) dan Sacromonte (komplek perkampungan kaum gipsi).

Bangunan ini awalnya dibangun sebagai benteng pada tahun 889,dan kemudian beralih menjadi istana kesultanan pada tahun 1333 oleh Sultan Granada, Yusuf 1. Kesan pertama yang kami rasakan adalah, detailnya penataan keseluruhan elemen istana. Mulai dari jenis bunga yang ada, saluran drainase, dan fasilitas2 lain yang tersedia didalamnya. Saya merasakan sendiri, saat masuk ke Generalife, ada sensasi yang berbeda di sepanjang jalan di taman bunga; selalu ada pergantian bau harum yang ditimbulkan dari pemilihan jenis bunga yang berbeda. Desain bangunan yang "menerima" dan ada unsur "surprising" pada setiap pintu masuk ke beberapa bagian bangunan di dalam istananya, bener2 nyata saya rasakan. Seperti yang pertama kali saya pelajari di semester awal perkuliahan saya pada abad ke 20, dan itu semua sudah diterapkan sejak abad 13. Subhanallah !!
Taman firdaus ini dibagi dalam 3 bagian yaitu lower gardens, upper gardens dan Generalife Palace. Taman ini sengaja dirancang sebagai area beristirahat dan bersenang-senang, setelah seluruh penghuni istana disibukkan dengan kegiatan rutin pemerintahan.

Setelah puas di Generalife, kami turun menyusuri taman dan medina untuk menuju ke Mosque Baths dan gereja Santa Maria (dulu adalah masjid kerajaan), yang letaknya berdekatan satu sama lain. Di depan kompleks ini, banyak dijual suvenir dengan kerajinan kayu khas, peninggalan suku Moor. Kami masuk toko suvenir, tapi bukan untuk membeli suvenir, melainkan beli es krim, sedikit penghilang dahaga saat musim panas di Spanyol :D

Di depan gereja, ada Palace of Charles V, yang didalamnya berisi Museum of the Alhambra, Museum of Fine arts, Conference and Exhibition Hall. Sayangnya saat kami ke Alhambra, museum2 tersebut sedang tutup (jadwal wajib, setiap senin, museum tutup untuk perawatan dan pemeliharaan).

Sebelum masuk ke Narid Palaces, kami menyewa alat untuk mendengarkan informasi detail terkait konsep pembangunan dan arti dari masing-masing ruang di dalam istana tersebut. Ongkos sewa lumayan murah hanya 4 E untuk Nasrid Palaces, dan lebih murah kalau menyewa untuk seluruh kompleks Alhambra, yang hanya 8 E. Alat bantu audio ini tersedia dalam lebih dari 5 pilihan bahasa, dan kami tentunya memilih bahasa Inggris.
Bagian dalam istana Nasrid yang paling terkenal adalah (1) Mexuar Palace yang dibangun oleh Ismail I dan Muhammad V (1362-1391), lalu (2) Comares Palace dibangun oleh Yusuf I (1333-1354) dilanjutkan oleh Muhammad V (1362-1391) dan yang terakhir (3) Palace of the Lions, disempurnakan oleh Muhammad V (1362-1391). Bagi kami, Palace of the Lions adalah bagian terindah, meskipun bagian-bagian lain di dalam istana ini juga tak kalah indahnya.

Sayangnya, karena kami masuk ke istana Nasrid jam 19.00 dan baru keluar jam 20.00, kami tidak sempat masuk ke dalam Alcazaba, karena semua obyek wisata di dalam Alhambra tutup jam 20.00. Walaupun penampakan Alczaba hampir sama dimana-mana (ini kami sadari setelah berkunjung ke 3 alcazaba lain di Andalusia), yaitu berupa benteng melingkari istana, namun tetap saja, kami merasa bahwa kami perlu lebih disiplin dengan time management untuk perjalanan selanjutnya di kota lain, untuk dapat menikmati semua obyek wisatanya secara optimal.

Saya lupa menyebutkan, bahwa kami beruntung mendapatkan hotel murah di pusat kota. Dan hanya diperlukan waktu 5-10 menit berjalan kaki untuk sampai ke tempat pemberhentian bis khusus ke Alhambra. Bis Alhambra berupa mini van, dengan ongkos 1,2 E/org untuk satu kali perjalanan. Anak-anak gratis dan tiket dapat dibeli langsung ke supir bis.
Karena didesain khusus untuk mengantar pengunjung ke Alhambra, maka bis ini berhenti tepat di beberapa lokasi atraksi wisata lain sepanjang jalan menuju Alhambra. Bahkan di kompleks Alhambra seluas 142.000 m2 sendiri, pemberhentian bis ini terdiri lebih dari 5 halte. Sayangnya sewaktu kami keluar dari Alhambra, yang bertepatan dengan jam resmi tutup kompleks ini, bis mini ini selalu penuh dengan penumpang, sehingga kami putuskan untuk berjalan kaki saja. Toh perjalanannya menurun, dan sepanjang perjalanan bisa sambil menikmati view kota Granada. Hehe ternyata setelah dihitung-hitung cukup jauh juga ya, sekitar 30 menit kami jalan kaki, sampai ke hotel kami.

Keesokan harinya, kami mendaki ke perkampungan Albayzin, dan duduk di Mirador de San Nicolas. Mirador de San Nicolas ini semacam open space, tepat di depan Cathedral Albayzin, dengan pemandangan langsung ke Alhambra. Setelah puas merekam indahnya landscape, kami mencari masjid terbesar Granada (Mezquita Mayor Granada), yang ternyata letaknya bersebelahan dengan katedral tersebut. Kami merasa beruntung karena saat kami tiba di depan masjid, pintu gerbang masjid baru saja dibuka untuk kunjungan turis. Oleh teman baru kami, pengurus Mezquita Granada, kami diperbolehkan untuk sholat sunnah dhuha di dalam masjid. Perasaan haru yang dalam, mendapat kesempatan sholat di masjid ini. Walaupun tidak sebesar masjid Istiqlal Jakarta, namun di dalam masjid ini terdapat arsitektur dengan seni tinggi peninggalan suku Moor, khas gambar desain Islam Spanyol.

Target selanjutnya adalah berjalan-jalan menikmati suasana perkampungan muslim yang bercampur dengan perkampungan gipsi dan yahudi. Kami bahkan duduk-duduk di pasar lokal, dan menikmati pemandangan transaksi jual beli di tengah open space, serasa seperti melihat transaksi yang sama dilakukan pada sekitar abad 13.
Makanan khas, baju-baju khas dan toko-toko khas, lengkap dengan aksen bahasa yang spesifik berpadu dengan keindahan arsitektur Islam, Gipsi dan Yahudi. Bahkan kami mendengar langsung di beberapa bar, sedang dilakukan latihan tari flamenco untuk persiapan pertunjukkan di malam harinya.
Beberapa kali, saya mendapati tatapan mata ramah penduduk lokal kampung Albayzin, setelah melihat identitas saya, wanita muslimah yang berjilbab. Tidak hanya itu saja, setelah beberapa kali berusaha menemukan arah ke Sacromonte, dan kami tersesat, selalu saja ada yang menolong dan memberi petunjuk jalan yang benar. Suami saya selalu bertanya, apakah kamu Muslim? Ya, jawab mereka. Lalu kami bersama-sama mengucapkan salam dan hamdallah. Rasanya sejuk hati ini, menikmati udara Eropa, namun atmosfer ukhuwah begitu terasa.

Rupanya tersesat itu tidak selamanya berakibat buruk, karena kami justru menemukan istana lain, Palacio de los Cordoba. Is tana yang didominasi dengan gaya arsitektur Rennaisance, berada tepat di ujung Sacromonte.    Saat mengunjungi istana ini, kami sekali lagi melihat bahwa Alhambra bener-benar menjadi arah orientasi setiap bangunan di Granada. Hampir di setiap bagian dalam istana ini, kita dapat melihat langsung Alhambra tepat di atas Palacio de los Cordoba.

Sacromonte adalah perkampungan gipsi, tempat tarian Flamenco pertama kali diciptakan. Uniknya dari perkampungan ini adalah, model rumahnya yang dibangun langsung di perbukitan, dimulai dari satu ruangan utama yang menerus ke ruangan-ruangan lain. Wilayah ini sekarang terkenal sebagai salah satu pusat atraksi turis, dengan view langsung ke Alhambra.

Perjalanan berikutnya adalah mengunjungi beberapa pusat obyek wisata di pusat kota, yaitu Cathedral Granada, Alcaiceira, Plaza de Bib-Rambla dan Plaza Isabel la Catolica. Kami tidak masuk ke Cathedral, karena saat kami disana, jam berkunjung sudah habis. Di sekitar Cathedral adalah Alcaiceira, tempat pusat jual beli sutra terbesar pada masa pemerintahan Muslim, yang sekarang menjadi pusat penjualan suvenir yang sebagian besar penjualnya adalah keturunan Arab.

Secara umum, kami tidak pernah naik bis kota untuk perjalanan di pusat kota Granada, karena hotel kami yang terletak di pusat kota, pas di belakang Grand Via dan Cathedral Granada. Jadi kemana-mana kami jalan kaki. Khusus untuk ke Alhambra, Albayzin dan Sacromonte kami manfaatkan bis Alhambra. Bis kota hanya mengantar kami dari hotel ke terminal bis di pinggir kota, dengan biaya 1,2 E/orang.

No comments: